Jejakmu yang bermata, bukan dua, tapi cukup satu, menghampirkan kendara berwarna ungu, di depanku. Malam yang kau singkirkan dengan tanpa pesan telah menyisakan jejakmu yang bermata. bukan dua, tapi satu.
Lalu celah nadi memilin satu persatu rindu di pembuluh darah dan degup jantung yang kau biarkan begitu saja.. Tak ada pesan apa pun kecuali kau tinggalkan jejak di matamu yang telah engkau simpan berhari-hari.
Suara seruling dari arah rumah bambu di desamu, memecah hening malam dengan gelapnya yang sendirian, jejak di matamu kau jatuhkan di celah-celah aliran sungai kecil seraya engkau pandu, agar ia tidak tersangkut di pepohon rindang yang akarnya jatuh ke dasar sungai.
Menjelang siang setelah kabut pagi berlalu, di depanmu, aku melihat serombongan pencari ikan-ikan yang tersisa di sungai kecil, memunguti jejak-jejak dari matamu, yang kemudian mereka bawa pulang untuk dimasak matang-matang dan kemudian disuguhkan pada para tetamu dari desa sebelahmu.
Dan dengan lahapnya mereka menikmati jejak matamu, yang tersisa satu.
Cimahi, 30 Juni 2019
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com
Kreator: Syantrie Aliefya
Illustrasi: Kompasiana
Tidak ada komentar