Hari itu mendung menutupi langit di kota Cimahi, aku sedang menyelesaikan tugas untuk persiapan paparan, penat rasanya duduk berjam-jam, sambil berdiskusi dengan teman sekantor. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 15:00, rupanya sudah sepuluh menit adzan ashat, aku beranjak mengambil air wudhu, selesai memenuhi kebutuhan ibadah pada Tuhan, aku bersiap-siap pulang.
Di luar kantor, rintik gerimis hujan mulai turun, walau jatuhnya perlahan, tapi ia tetap mengikuti laju kendaraan yang kutunggangi. Jalan Cibabat terlewat, masuk ke Cibeureum rintik gerimis bertambah deras, dan saat masuk ke jalan Rajawali hujan benar-benar menghentikan para pengguna jalan.
Aku memutuskan untuk berhenti di jalan kebonjati, meskipun seluruh tubuh terlindung stelan jas hujan, aku memilih istirahat. Kupikir sejak diskusi dengan teman di kantor tadi aku belum meneguk secangkir ngopi pun, lidahku berunjuk rasa menagih aromanya, mencium baunya dan meneguk hitamnya.
“Bu, kopi satu ya”, pesanku
“Kopi susu atau kopi hitam” tanya ibu tua penjaga warung kopi
“Kopi hideung bu” jawabku, sambil mencari tempat untuk duduk manis, kulihat sekeliling, ada tiga orang sepertiku yang juga sedang berteduh, sambil menikmati secangkir kopi, tentunya.
Pria di sebelahku menelpon kawannya, dari sayup-sayup pembicaraanya kelihatannya dia sedang membicarakan urusan bisnis,
“semoga saja urusan dia diberi kelancaran oleh Tuhan”, bisik hatiku.
Satu lagi pria lain, sedang menikmati sebatang rokok, di sebelah kanannya ada secangkir kopi hitam. Aku memperhatikannya, tatapannya begitu tenang, ia sedang menikmati irama hujan, pikirku.
“Cep, ieu kopina, palih dieu calikna”, (nak, ini kopinya, sebelah sini duduknya)
Ibu tua itu menyuguhkan secangkir kopi padaku, aku meraihnya, lalu menyimpannya setelah duduk di bangku yang ditunjukkan ibu tadi.
Sambil menunggu kopi menjadi hangat, aku memperhatikan jongko tempat jualan ibu tua itu, sangat kumuh, tak terawat, terkesan apa adanya. Ada goreng pisang dan goreng tahu, disimpan dalam piring yang berbeda, yang kuingat hanya itu. Aku mengambil tahu yang sudah tidak bisa disebut hangat, apalagi deras hujan semakin mendera jalanan.
Sambil menikmati goreng tahu, terlintas di benakku bahwa teman sekantor tadi sempat memperlihatkan foto yang dikirim via jejaring WA di smartphonenya, ada mobil terbawa banjir di jalan pasteur, juga foto-foto lain yang menampilkan banjir bandang di kota Bandung. Aku berdo’a semoga perjalananku pulang tidak terhalang banjir bandang.
Secangkir kopi sudah habis kunikmati.
“Bu, janten sabaraha sadayana? (jadi berapa semuanya), tanyaku sambil merapihkan jas hujan yang kancungnya kubuka tadi.
:Tahu hiji, kopi hiji, janten sadayana tilu rebu limaratus? (tahu satu, kopi satu, jadi semuanya tiga ribu lima ratus) jawab si ibu, lugas dan sederhana.
Di dompetku tersisa uang 10 rebu, aku memberikannya, dan menunggu kembaliannya.
Ibu itu mencari kembalian, diambilnya kaleng tempat ia menyimpan uang, tak ditemukannya uang receh yang pas untuk mengembalikan sisa uangku.
“Cep, ieu mung aya angsulan genep rebu”, kata si ibu (nak, ini Cuma ada uang kembalian enam ribu)
“Oh nya bu wios lima ratus mah kanggo ibu weh”, aku tersenyum melihat sikap penuh hormat ibu tua yang bertahan dengan berjualan di trotoar jalan kebonjati.
Aduh hatur nuhun kasep, parantos masihan modal (terima kasih nak, sudah memberikan modal)
Aku terkejut dengan perkataan ibu tua itu, betapa tingginya penghargaan pada pemberian yang kecil yang dimata mereka yang berada sudah tak ada nilainya.
Aku juga terhenyak, aku merasa malu, juga ingat pada kata-kata bijak, jangan menyepelekan yang kecil. Aku terpesona dengan muatan kata dalam jiwa mulia yang bersembunyi di tubuh fisik yang sudah tua.
Sambil pamitan, aku menerobos hujan. Sepanjang jalan aku terus berpikir, mengapa di kota sebesar Bandung dengan gairah wisata dan pesona alam serta keramahan penduduknya, masih ada ibu tua yang menghabiskan sisa usianya dengan berjualan di trotoar, berjuang di kekumuhan yang terlupakan.
Aku juga berpikir, mengapa ibu tua itu memilih kata yang tidak pernah kuduga sebelumnya, bersyukur dengan uang recehan senilai lima ratus rupiah?
Sambil terus menghabiskan kepingan hujan yang tersisa, aku ingat uang kembalian yang enam ribu sudah masuk ke dompetku, berjejalan dengan kartu nama sahabat dan kenalanku. Kok aku jadi pelupa, kenapa tak kuberikan saja semuanya?
Bandung, 25 Oktober 2015
copyright©Madyo Sasongko
Tidak ada komentar