Al Wuul dan At Tuhut

Share:



Hadits yang mulia ini, yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, adalah salah satu hadits penting yang menjelaskan tentang tanda-tanda kecil Hari Kiamat. Hadits ini memberikan gambaran yang jelas mengenai kondisi masyarakat yang akan terjadi menjelang akhir zaman, di mana nilai-nilai moral akan terbalik, dan orang-orang yang tidak kompeten akan mendominasi.

Mari kita uraikan dan tafsirkan hadits ini secara mendalam:

Teks Hadits dan Terjemahan:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَظْهَرَ الْفُحْشُ وَالْبُخْلُ، وَيُخَوَّنَ الْأَمِينُ وَيُؤْتَمَنَ الْخَائِنُ، وَيَهْلِكَ الْوُعُوْلُ، وَيَظْهَرُ التُّحُوْتُ فَقَالُوْا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوُعُوْلُ وَمَا التُّحُوْتُ؟ قَالَ: الْوُعُوْلُ وُجُوْهُ النَّاسِ وَأَشْرَافُهُمْ، وَالتُّحُوْتُ الَّذِينَ كَانُوا تَحْتَ أَقْدَامِ النَّاسِ لَا يُعْلَمُ بِهِمْ

"Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di genggaman-Nya, Hari Kiamat tidak akan datang hingga muncul kejahatan dan kebakhilan, orang yang jujur didustakan, orang yang khianat dipercaya, binasanya al-wu’ul dan munculnya at-tuhut?” Maka para sahabat bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Siapakah al-wu’ul dan at-tuhut itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Al-wu’ul adalah para pemuka dan orang-orang terhormat di kalangan masyarakat, sedangkan at-tuhut adalah orang-orang yang berada di bawah kaki manusia (hina) lagi tidak dikenal."

1. Keaslian dan Kedudukan Hadits (Sanad dan Matan):

Perawi: Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah, salah satu sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah ﷺ.

Sumber: Dicatat oleh Imam Al-Hakim dalam kitabnya Al-Fitan (hadits no. 8664) dan juga dalam Al-Mustadrak (4/590). Imam Al-Haitsami juga meriwayatkannya dalam Majma' Az-Zawa'id (1/465, yang disebut sebagai Mausid Azh-Zham’an dalam catatan).

Penilaian Al-Hakim: Al-Hakim menyatakan, "Hadits ini diriwayatkan oleh para perawi yang semuanya penduduk Madinah dan sedikitpun tidak disinggung terkait kecacatan riwayat mereka." Ini menunjukkan bahwa hadits ini memiliki sanad yang kuat dan diterima sebagai hadits shahih atau hasan, yang berarti dapat dijadikan hujjah (dasar hukum atau dalil) dalam Islam.

2. Uraian dan Tafsir Mendalam:

a. Sumpah Rasulullah ﷺ: "Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di genggaman-Nya"

Rasulullah ﷺ memulai sabdanya dengan sumpah yang kuat ini. Ini bukan sekadar sumpah biasa, melainkan cara untuk menegaskan kebenaran dan urgensi dari apa yang akan disampaikan. Sumpah ini menunjukkan bahwa informasi yang akan diberikan adalah sangat penting dan pasti akan terjadi, tidak ada keraguan sedikitpun. Hal ini juga mengingatkan kita akan keagungan Allah SWT sebagai pemegang kendali atas segala sesuatu, termasuk jiwa Rasulullah ﷺ sendiri.

b. Syarat Kedatangan Kiamat: "Hari Kiamat tidak akan datang hingga..."

Frasa "لا تقوم الساعة حتى" (Tidak akan datang Hari Kiamat hingga) mengindikasikan bahwa tanda-tanda yang disebutkan berikutnya adalah pra-syarat atau kondisi yang pasti akan terlihat sebelum terjadinya Kiamat Besar. Ini adalah tanda-tanda kecil (Ashrat as-Sa'ah as-Sughra) yang berfungsi sebagai peringatan bagi umat manusia.

c. Munculnya Kejahatan dan Kebakhilan (يَظْهَرَ الْفُحْشُ وَالْبُخْلُ):

Al-Fuhsy (الفحش): Secara harfiah berarti perbuatan keji, tidak senonoh, atau amoral. Namun, dalam konteks yang lebih luas, ini mencakup segala bentuk kejahatan, kemungkaran, perkataan atau perbuatan yang melanggar norma agama dan etika. Ini termasuk perzinahan, homoseksualitas, kekerasan, kezaliman, kesombongan yang melampaui batas, dan hilangnya rasa malu di masyarakat. Ketika Al-Fuhsy menjadi terang-terangan dan tidak lagi dianggap tabu, bahkan mungkin dilegalkan atau dianggap biasa, itu adalah indikasi moralitas yang sangat rendah.

Al-Bukhl (البخل): Berarti kikir atau kebakhilan. Ini tidak hanya terkait dengan harta benda, tetapi juga bisa berupa kebakhilan dalam berbagi ilmu, waktu, bantuan, atau bahkan kasih sayang. Kebakhilan ini mencerminkan egoisme yang merajalela, di mana setiap orang hanya memikirkan diri sendiri dan enggan membantu sesama, bahkan dalam hal-hal yang wajib sekalipun. Kombinasi fuhsh dan bukhl menciptakan masyarakat yang kejam, tidak peduli, dan mementingkan diri sendiri.

d. Kepercayaan yang Terbalik (وَيُخَوَّنَ الْأَمِينُ وَيُؤْتَمَنَ الْخَائِنُ):

Ini adalah salah satu tanda paling krusial dari kerusakan sosial.

"Orang yang jujur didustakan" (يُخَوَّنَ الْأَمِينُ): Orang-orang yang memiliki integritas, kejujuran, dan amanah justru dianggap tidak bisa dipercaya, dicurigai, atau bahkan difitnah. Kejujuran menjadi sesuatu yang langka dan tidak dihargai.

"Orang yang khianat dipercaya" (يُؤْتَمَنَ الْخَائِنُ): Sebaliknya, orang-orang yang terbukti tidak jujur, khianat, atau tidak memiliki integritas justru diberi amanah dan dipercaya dalam urusan penting. Ini bisa terjadi karena mereka licik, pandai bersilat lidah, memiliki koneksi, atau karena masyarakat sudah tidak lagi mampu membedakan mana yang benar dan salah, atau bahkan karena mereka memaksakan diri melalui kekuasaan. Kondisi ini meruntuhkan fondasi kepercayaan dalam masyarakat, sehingga sistem nilai menjadi kacau balau.

e. Binasanya Al-Wu'ul dan Munculnya At-Tuhut (وَيَهْلِكَ الْوُعُوْلُ، وَيَظْهَرُ التُّحُوْتُ):

Ini adalah inti dari hadits ini dan penjelasan yang paling dalam.

Al-Wu'ul (الْوُعُوْل): Ketika para sahabat bertanya, Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa mereka adalah "wujuhun-nas wa ashrafuhum" (wajah-wajah masyarakat dan para pemimpin/orang-orang terhormat mereka). Kata wu'ul sendiri dalam bahasa Arab dapat merujuk pada kambing gunung jantan, yang melambangkan ketinggian, kekuatan, dan kemampuan memanjat ke tempat yang tinggi (metafora untuk status dan kehormatan). Jadi, al-wu'ul adalah para ulama, cendekiawan, pemimpin yang adil, orang-orang bijak, teladan moral, dan individu-individu yang memiliki pengaruh positif, kredibilitas, serta dihormati karena ilmu, kebijaksanaan, dan ketakwaan mereka.

"Binasanya al-wu'ul" (يهلك الْوُعُوْل): Ini bisa berarti beberapa hal:

Kematian Fisik: Wafatnya para ulama dan pemimpin yang shalih secara beruntun tanpa ada pengganti yang sepadan.

Marginalisasi: Orang-orang yang berintegritas tinggi disingkirkan, tidak didengarkan, atau tidak diberi kesempatan untuk berkontribusi. Mereka mungkin masih hidup, tetapi pengaruh dan suara mereka tidak lagi dihiraukan oleh masyarakat atau penguasa.

Krisis Moral: Para pemimpin yang seharusnya menjadi teladan justru terjerumus dalam kemaksiatan dan kerusakan, sehingga kehilangan kehormatan dan kepercayaan masyarakat.

At-Tuhut (التُّحُوْت): Rasulullah ﷺ menjelaskan mereka sebagai "alladzina kanu tahta aqdaminnasi la yu'lamu bihim" (orang-orang yang dulunya berada di bawah kaki manusia [hina], lagi tidak dikenal). Kata tuhut sendiri bisa merujuk pada sesuatu yang rendah, tersembunyi, atau tidak berarti. Jadi, at-tuhut adalah orang-orang yang tidak memiliki kualitas, latar belakang yang buruk, tidak dikenal karena kebaikan, kurang ilmu, kurang moral, tidak memiliki integritas, dan dulunya mungkin dipandang rendah atau tidak penting dalam masyarakat. Mereka adalah orang-orang amoral, tidak kompeten, bahkan mungkin berkarakter rendah.

"Munculnya at-tuhut" (يَظْهَرُ التُّحُوْتُ): Ini berarti orang-orang seperti ini akan bangkit dan mendominasi posisi-posisi penting dalam masyarakat, menjadi pemimpin, pemegang kekuasaan, atau figur publik yang dielu-elukan. Mereka naik ke permukaan bukan karena kompetensi, integritas, atau kebijaksanaan, melainkan mungkin karena koneksi, kekayaan haram, kelicikan, populisme, atau bahkan karena masyarakat sudah tidak lagi memiliki standar yang benar dalam memilih pemimpin.

3. Implikasi dan Makna Mendalam:

Krisis Kepemimpinan dan Nilai: Hadits ini menggambarkan krisis kepemimpinan dan nilai yang parah di akhir zaman. Ketika al-wu'ul (para pemimpin berintegritas dan mulia) binasa atau tersingkir, dan at-tuhut (orang-orang amoral dan tidak kompeten) yang menguasai panggung, maka masyarakat akan kehilangan arah dan terus terjerumus dalam kerusakan.

Terbaliknya Tatanan Sosial: Hadits ini menunjukkan terbaliknya tatanan sosial yang ideal dalam Islam. Seharusnya, yang memimpin adalah orang-orang terbaik (ulama, umara yang adil), bukan orang-orang terburuk atau yang tidak jelas asal-usulnya. Ini adalah cerminan dari kegagalan masyarakat dalam menegakkan keadilan dan memilih pemimpin berdasarkan kualifikasi moral dan intelektual.

Ancaman Terhadap Agama dan Dunia: Dominasi at-tuhut berarti keputusan-keputusan penting akan dibuat oleh orang-orang yang tidak memiliki ilmu, hikmah, atau ketakwaan. Ini akan berdampak buruk pada agama (karena mereka mungkin mengeluarkan fatwa sesat atau kebijakan yang bertentangan dengan syariat) dan pada urusan dunia (karena mereka akan memimpin dengan kezaliman, korupsi, dan ketidakmampuan).

Peringatan Bagi Umat Islam: Hadits ini adalah peringatan keras bagi umat Islam untuk senantiasa menjaga nilai-nilai kebenaran, integritas, dan kejujuran. Kita harus berusaha menjadi bagian dari al-wu'ul (dalam arti karakter dan kontribusi positif) dan menjauhi sifat-sifat at-tuhut. Ini juga merupakan dorongan untuk mendidik generasi muda agar memiliki kualitas kepemimpinan yang baik, sehingga tidak terjadi kekosongan kepemimpinan yang dapat diisi oleh orang-orang yang tidak pantas.

Korelasi dengan Judul Buku: Judul "Wafatnya Orang-orang Shalih dan Mulia, Serta Dominasi Orang-orang Amoral yang Tidak Jelas Asal-usulnya" dengan sangat tepat merangkum esensi dari hadits ini, terutama pada bagian binasanya al-wu'ul dan munculnya at-tuhut.

Kesimpulan:

Hadits ini adalah cerminan yang tajam tentang kondisi moral dan sosial yang akan mendahului Hari Kiamat. Ia menggambarkan masyarakat yang kehilangan kompas moralnya, di mana kejahatan dan kebakhilan merajalela, kepercayaan dihancurkan, dan kepemimpinan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak layak. Ini adalah seruan bagi setiap Muslim untuk merenungkan keadaannya sendiri dan lingkungannya, serta berusaha menjadi agen perubahan positif, berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, agar tidak terjerumus dalam kerusakan yang telah diperingatkan oleh Rasulullah ﷺ.


SUMBER REFERENSI

Sumber Referensi Hadits

Imam Al-Hakim An-Naisaburi (ابو عبد الله محمد بن عبد الله الحاكم النيسابوري)

Judul Kitab: Al-Mustadrak 'ala ash-Shahihain (المستدرك على الصحيحين)

Lokasi Hadits: Juz 4, halaman 590, Hadits Nomor 8664.

Penilaian Al-Hakim: Beliau menyatakan, "Hadits ini diriwayatkan oleh para perawi yang semuanya penduduk Madinah dan sedikitpun tidak disinggung terkait kecacatan riwayat mereka." Ini menunjukkan bahwa hadits ini menurut Al-Hakim adalah hadits yang shahih atau hasan, yang layak dijadikan hujjah.

Catatan: Hadits ini juga disebutkan dalam kitab Al-Fitan karya Al-Hakim, yang kemudian dikumpulkan dalam Al-Mustadrak.

Imam Nuruddin Ali bin Abi Bakar Al-Haitsami (نور الدين علي بن أبي بكر الهيثمي)

Judul Kitab: Majma' Az-Zawa'id wa Manba' Al-Fawa'id (مجمع الزوائد ومنبع الفوائد)

Lokasi Hadits: Juz 1, halaman 465, Hadits Nomor 1882.

Catatan: Kitab ini adalah kompilasi hadits-hadits dari berbagai kitab sunan, musnad, dan mu'jam yang tidak terdapat dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim), dan Al-Haitsami sering memberikan penilaian sanad.

Sumber Sekunder dan Komentator (Tafsir dan Penjelasan Hadits)

Abu Fatiah Al-Adnani

Judul Buku: 400 Hadits Akhir Zaman

Relevansi: Buku ini adalah sumber utama yang menjadi dasar teks hadits dan terjemahan yang Anda berikan. Penulis buku ini mengumpulkan hadits-hadits tentang tanda-tanda Kiamat dan memberikan penjelasan yang relevan dengan konteks zaman sekarang. Tafsiran yang saya berikan di atas sangat mengacu pada pemahaman umum yang dikembangkan dalam literatur Islami mengenai tanda-tanda Kiamat, yang sejalan dengan inti penjelasan dalam buku-buku sejenis.

Imam Al-Munawi (عبد الرؤوف المناوي)

Judul Kitab: Faidhul Qadir Syarh Al-Jami' Ash-Shaghir (فيض القدير شرح الجامع الصغير)

Relevansi: Meskipun hadits ini mungkin tidak langsung dari Al-Jami' Ash-Shaghir, Al-Munawi adalah salah satu ulama yang banyak menjelaskan hadits-hadits Nabi, termasuk yang berkaitan dengan tanda-tanda Kiamat. Penjelasan beliau tentang istilah-istilah seperti fuhsh, bukhl, dan kondisi sosial adalah rujukan standar dalam memahami hadits.

Para Ulama Kontemporer Penulis Kitab Ashrat As-Sa'ah (Tanda-tanda Kiamat)

Seperti Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al-Arifi dengan bukunya Nihayatul 'Alam (Akhir Dunia), atau Syaikh Yusuf bin Abdullah Al-Wabil dengan bukunya Asyratu Sa'ah, seringkali merujuk pada hadits-hadits semacam ini dan memberikan interpretasi mendalam mengenai implementasinya di era modern. Interpretasi tentang "krisis kepemimpinan", "terbaliknya tatanan sosial", dan "ancaman terhadap agama dan dunia" adalah pemahaman yang umum di kalangan ulama yang mengkaji fenomena akhir zaman.

Sumber Leksikal (Kamus Bahasa Arab)

Untuk pemahaman makna kata-kata kunci dalam hadits:

Ibnu Manzhur (ابن منظور)

Judul Kitab: Lisan al-Arab (لسان العرب)

Relevansi: Kamus klasik terlengkap yang menjadi rujukan utama untuk memahami makna kata-kata Arab, termasuk fuhsh, bukhl, wu'ul, dan tuhut beserta derivasi dan makna idiomatiknya.

Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia)

Relevansi: Kamus modern yang membantu dalam menerjemahkan dan memahami makna kata-kata Arab ke dalam bahasa Indonesia secara kontekstual.

Penjelasan Tambahan untuk Validitas:

Interpretasi yang telah disajikan bersandar pada metode penafsiran hadits yang umum di kalangan ulama:

Tafsir Lugawi (Linguistik): Memahami makna harfiah setiap kata berdasarkan kamus dan penggunaan bahasa Arab pada masa Nabi.

Tafsir Istilahi (Terminologi): Memahami istilah-istilah khusus dalam hadits (seperti wu'ul dan tuhut) berdasarkan penjelasan Rasulullah ﷺ sendiri dan para ulama terdahulu.

Tafsir Ma'nawi (Konteks dan Tujuan): Mengaitkan hadits dengan konteks syariah Islam secara keseluruhan dan tujuan-tujuan kenabian, yaitu memberikan peringatan dan panduan bagi umat.

Tafsir Ijtima'i (Sosial): Mengamati implementasi hadits dalam realitas sosial kontemporer sebagai tanda-tanda yang disebutkan.

Dengan merujuk pada kitab-kitab hadits primer untuk keaslian matan dan sanad, serta kitab-kitab syarah dan tafsir untuk pemahaman makna, interpretasi hadits ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dalam disiplin ilmu hadits dan syariah.

Tidak ada komentar